Tausyiah

Hasan Al-Banna
Seorang da'i itu, jika dalam kelas ia menjadi yang paling cerdas, seolah dihabiskan hidupnya untuk belajar. Jika di tempat olahraga ia menjadi yang paling tangkas, seolah hidupnya dihabiskan untuk berlatih. Jika di majelis Al-Qur'an ia menjadi yang paling fasih dan banyak hafalannya, seolah hidupnya dihabiskan untuk menghafal. Dan dalam proyek-proyek dakwah mejadi yang terdepan, seolah habis hidupnya untuk proyek-proyek dakwah tersebut.

Rabu, 17 April 2013

Kisahku: "Ipin"

kk
Sayang Adik
                      ”Berarti Mba nanti yang bisa bacakan Ipin!”
Masih jelas kuingat mata itu menatap penuh harap. Suara yang semakin lemah dan tak lagi jelas kudengar. Cerita–cerita masa lampau terucap dari bibirmu. Semakin parau suaramu, semakin aku tak mengerti apa yang kau sampaikan. Maafkan Mba mu ya, Dek! Harusnya aku menyadari kalau malam itu adalah hari terakhirmu berbincang dan bercerita bersamamu.
Semakin lekat kutatap wajah dalam bingkai bisu itu. Tak ada yang berubah sedikitpun dari senyummu. Tetap seperti senyum yang dahulu. Lembut dengan tatapan mata dan alis elangmu yang tajam. Karena itu pula semakin mengalir deras air mata ini.
Aku perempuan kecil yang merasa dirinya dewasa, selalu berlagak bijak dan dewasa kala berbicara dengan  saudara-saudaraku. Sok berjiwa kuat dengan segala terpaan hidup, namun sebenarnya akulah si perempuan kecil yang cengeng lagi lemah.

4  Desember 2012
Ipin kangen sama Mba, hari ini jadi pulang, kan? Itu sms dari adik yang sudah rindu menunggu kepulanganku.
Iya Dek! Mba akan pulang buat kamu dan Emak. Sabar ya! Mba masih di jalan nih.  Balasku.
Tak pernah kuduga rumah sakit harus jadi tempat kami bertemu pagi ini. Aku bingung. Begitu banyak pertanyaan yang ingin kulontarkan. Aku langsung memeluk Ipin saat bertemu Ipin di pintu parkir RS.
“Mba sudah dari tadi sampainya?” tanya adikku polos.
“Alhamdulillah! Ipin sakit apa?” tanyaku sambil menatapnya haru. Aku tak bisa menyembunyikan rasa rindu pada adikku ini. Kami bertemu di RS Daerah ini bukan tanpa alasan, Kakak sedang mengurus surat rujukan untuk Ipin. Ya, Ipin harus dirujuk ke RS Provinsi.Ya Allah, jangan biarkan kondisi Ipin memburuk.
Ya Allah, terima kasih aku masih bisa dipertemukan dengan Ipin. Sembuhkanlah sakitnya, ya Rabb!
***
“Tin! Ipin sakit. Emak bingung dia sakit apa. Sudah tiga dokter kita datangi tapi Ipin belum sembuh juga,” keluh Emak sambil memelukku erat. Lelehan air mata membasahi wajah keriput Emak. Sungguh, bisa kurasakan sedih dan pilu yang Emak alami. Padahal dulu Emak adalah wanita yang jarang sekali menangis. Ah, aku baru sadar, ternyata tiga tahun sudah aku meninggalkan kampung halamanku ini.
“Emak yang sabar ya! Sekarang Titin sudah pulang. Titin pulang untuk Emak, untuk menguatkan Emak dan semuanya. Insya Alloh kita semua bisa menghadapi ujian ini, Mak!”
Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk menolong Emak dan saudara-saudaraku di sini.
***
7 Desember 2012
Suara deras jutaan butiran air dari langit yang jatuh ke tanah menemani keberangkatan kami menuju RS Provinsi. Kebun-kebun karet, jalanan yang licin oleh hujan, dan malam pekat nan gelap tak menghalangi kami menempuh 5-6 jam perjalanan untuk mengantarkan Ipin ke RS.
Sebelum berangkat, Ipin menumpahkan segala kangennya padaku.
“Ipin kangen banget sama Mba Titin. Mba Titin mau ya jagain Ipin nanti di rumah sakit?” harapnya.
Aku mengangguk takzim dan mengusap wajahnya. Untunglah, karena kepulanganku, Ipin yang awalnya tidak mau berobat ke RS kini sudah mau dibujuk.
Tri, teman SD ku yang  seorang bidan dan ikut membantu merawat adikku, bercerita.
“Tin, Ipin sekarang beda sekali. Waktu kamu di Jakarta, dia seperti kehilangan semangat hidup dan harapan untuk sembuh. Kondisinya juga sangat mengkhawatirkan, sudah dibujuk untuk berobat jawabannya selalu menolak. Tapi subhaanallah, begitu ketemu kamu, dia terlihat lebih bersemangat dan optimis,” cerita Tri panjang lebar. Tri tak kuasa menahan air mata sambil bercerita. Dia ingat betul saat-saat kritis Ipin beberapa hari sebelum kedatanganku. Dan kini keadaan Ipin sudah jauh lebih baik. Ah, aku tak sadar sejak Tri mulai bercerita, air mataku juga deras mengalir.
Ya Allah, kuatkanlah aku demi keluargaku yang kucintai ini!
***
Sejenak kami beristirahat di perjalanan dan sholat tahajud di sepertiga malam itu. Dan di situlah Ipin akhirnya menumpahkan semua perasaannya pada Emak.
”Mak, maafin Ipin yak! Selama ini kata-kata Ipin sering nyakitin perasaan Emak. Sering ngomong kasar, suka membentak emak. Doain Ipin ya, mak! Ipin ingin sembuh! Ipin sudah nggak kuat. Ipin mau pasrah aja. Maafin Ipin ya, Mak!” seru Ipin tulus sambil bersujud mencium kaki Mak.
”Iya Emak udah maafin Ipin. Sekarang Ipin harus semangat dan kuat ya, supaya cepat sembuh!”
Aku yang duduk di sebelah Ipin mencoba mengusap pundaknya lembut. Memberinya semangat.
“Yakin Allah akan memberikan kesembuhan ya, Dek!” sambil kurangkul tangannya untuk membantunya bangkit berdiri. Jujur aku iri akan tindakannya yang begitu mulia. Entah jika aku di posisinya, apakah bisa melakukannya atau tidak.
Tolong jadikanlah keinsyafan Ipin sebagai jalan buat kesembuhannya, ya Rabb!.
***
Jum’at Malam  Januari 2013
“Aaarrrggghhhh!”
Ipin mengerang kesakitan. Tubuhnya semakin tegang. Matanya melotot. Giginya bergemerutuk menahan sakit. Tangannya mengepal. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan Ipin. Aku dan kakakku menuntunnya untuk terus berzikir. Tapi Ipin terus saja mengerang kesakitan.
Untunglah perawat segera datang ke ruangan. Dia lalu segera memasangkan tabung oxigen ke hidung Ipin dan menyuntikkan obat ke dalam selang infusnya. Perlahan kesadaran adikku mulai memulih, tubuhnya sudah tidak mengejang lagi.
Segala puji hanya untukmu ya Allah. Berikanlah kesembuhan kepada Ipin, ya Rabb!
***
Limphoma Malighna Non Hodgkin
Tubuhku lemas seketika membaca hasil diagnosa penyakit yang diidap Ipin. Kanker kelenjar getah bening. Aku hanya bisa husnudzon dan berharap Allah masih memberi jalan untuk kesembuhan adikku ini.
“Yang sabar ya, Mba! Mba harus lebih kuat! Kasih dukungan adiknya. Hidup dan mati sudah takdir Allah. Saya pamit duluan ya, Mba!” hibur seorang ibu sambil menepuk pundakku.
Ah, aku hanya bisa mencoba tersenyum dan menahan tangis. Allah Maha Tahu, seberat apapun beban yang kurasakan, jauh lebih berat ujian yang harus dihadapi adikku dalam menahan rasa sakitnya. Tidak, aku tidak boleh lemah begini.
Ya Allah, Kau memberikan beban sesuai dengan kesanggupan hambaMu. Aku tahu aku sanggup menghadapi semua ini. Kuatkanlah aku, ya Rabb!
***
Malam itu sedikit ada kesalahpahaman antara aku dan adikku. Aku agak teledor ketika menadah muntahan Ipin ketika dia mual. Ipin begitu tega menganggap aku tidak ikhlas merawatnya. Dia tidak ingin dirawat olehku. Dia ingin agar Emak saja yang berada di kamar. Padahal selama ini dia selalu bersamaku sejak pagi. Sarapan dan minum obat semua aku yang menyuapinya. Aku kecewa dengan sikapnya yang mulai tidak sabaran. Aku keluar ruangan dan Emak menggantikanku menungguinya.
Malam itu tak sedikitpun aku menengok ke ruangannya. Aku takut dia masih marah padaku. Namun esok sorenya aku memberanikan diri untuk masuk dan menungguinya, menanyakan apa saja kabar tentangnya, seolah tak pernah ada kekecewaan yang pernah terjadi.
Setelah sholat maghrib Emak tepat berada di sebelah kanannya sedang mengipasinya. Aku duduk menggelar karpet tepat dibawah kaki kanannya, sambil tilawah Al Qur’an. Ipin meminta Emak memanggilku untuk mendekatinya.
“Mba Titin sini, sebentar aja!” panggilnya sambil mengulurkan tangan ke arahku. Segera aku beranjak menghampirinya, tangannya segera menggamit tanganku menyalami. “Ipin minta maaf ya, Mba. Ipin sadar suka marah-marah dan bikin sakit hati Mba. Ipin harusnya bersyukur... semua orang ikhlas merawat Ipin. Ipin kasihan sama pasien di sebelah itu, Mba. Sudah terbaring lemah tapi keluarganya tidak ada yang mengurusi.”
“Mba mau maafin Ipin, kan? Ipin janji tidak akan marah-marah lagi, tidak akan bentak-bentak lagi, Ipin mau nurut apa kata Mba, tidak akan melawan lagi. Ipin janji, mba! Mulai sekarang Ipin mau berubah jadi lebih baik dan ikhlash. Ipin ikhlas atas keputusan Allah, Mba mau bantu ingetin Ipin, kan?!”
“Iya, Mba udah maafin Ipin. Alhamdulillah Allah sudah kasih hidayah buat Ipin. Insya Allah Mba akan bantu ingetin Ipin terus. Sekarang Ipin harus yakin Allah bakal ngasih kesembuhan yak?” kataku sambil kuusap bahunya yang semakin kurus. Aku sungguh terharu. Aku bingung harus berkata apa lagi.
Kakakku datang lalu dipeluknya adikku dengan penuh kasih sayang, kali ini aku seakan merasakan betapa kakakku begitu menyayanginya seakan-akan tak ingin kehilangan adik laki satu-satunya, yang selama ini telah menjadi teman sharing dan berbagi tanggungjawab di dalam keluarga kami. Aku ingin keluarga ini tetap utuh dan dalam lindunganmu selalu, ya Allah.
Berikanlah selalu hidayah pada keluargaku ini, ya Rabb!
***
Perubahan drastis adikku membuat semangat baru kami timbul kembali. Aku selalu meyakinkan dia untuk sembuh, dan dia pun yakin akan kesembuhannya. Merawatnya, menyuapi makannya, meminumkan obatnya sudah menjadi rutinitasku setiap hari, bercerita dan memotivasinya sudah harus kusiapkan setiap waktu bila dia bertanya.
”Insya Allah Musanah Arifin besok bisa kemoterafi sementara ya. Alhamdulillah kondisinya sudah lebih baik,” kata dokter pada kami. Berita itu sungguh kabar gembira yang sangat berharga bagi kami.
Siang itu adikku masih sempat bercerita tentang cita-citanya yang ingin membuka usaha  dan berjanji akan menjadi orang yang benar-benar baik. Namun sayangnya sore ini dia terlihat agak lemah karena diare. Dia kembali mengeluhkan sakit perutnya.
“Waktu Ipin sakit perut, Mba ke mana? Ipin sampai teriak-teriak lho waktu bilang astaghfirullah, karena rasanya sakiiiiit banget, Mba.  Kayak udah nggak bisa nafas jadi zikirnya keras aja supaya Ipin tetap sadar. Kalau mati itu rasanya sakit kayak gitu ya, Mba?” tanya dia.
“Iya. Rasul saja masih merasakan sakitnya kematian, apalagi kita yang hanya manusia biasa? Namun semua tergantung amal kita, Dek. Pilihannya apakah kita su’ul khotimah atau khusnul khatimah. Kenapa ipin tanya begitu? Sekarang kita perbanyak zikir dan istighfar sama Allah. Kalau kita ikhlas dalam ujian ini maka Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita. Insya Allah Ipin akan sembuh,” nasihatku padanya.
“Iya, Mba. Ipin akan nurut apa kata mba. Ipin juga sudah ikhlaaaaaasss banget. Kalo Allah kasih sembuh alhamdulillah, tapi kalo Ipin harus cepat menghadapNya, semoga Allah telah mengampuni dosa-dosa Ipin ya, Mba. Ipin merasa lebih tenang sekarang.”
Entah kenapa seperti ada angin yang lembut membelai leherku. Hatiku berdesir. Entah karena apa. Aku mencoba menghilangkan pikiran-pikiran buruk. Aku harus mendukung Ipin.
“Ipin harus yakin bahwa semua penyakit Allah turunkan juga obatnya. Perbanyak istighfar ya, Dek! Percayalah Allah menggugurkan satu persatu dosa Ipin, yang penting ikhlas dan sabar ya!” Nasihatku siang itu. Ah, entah apakah aku bisa sekuat Ipin jika berada di posisinya.
Ya Rabb, aku tak kan membiarkan pikiran buruk membuyarkan harapanku padaMu. Tolong! Tolong ya Allah! Sembuhkanlah Ipin!
****
Sejak perbicaraan siang ini, kulihat semangatnya untuk sembuh luar biasa. Malam ini dia harus istirahat dengan cukup karena besok akan ada kemoterafi. Sebisa mungkin tensi dan Hb darahnya normal. Sebelum beristirahat dia banyak sekali bercerita.
“Mba Titin sini... deket Ipin. Mba punya musuh ga?”
“Ga ada, emangnya kenapa kok tanyanya begitu?”
“Berarti hanya Mba Titin yang bisa membacakan Ipin ya, Mba.”
”Membacakan apa, Pin? Ya sudah nanti Mba bacakan yang penting hari ini Ipin istirahat yang cukup, ingat besok sudah mau di kemo ya.”
“Iya... bacain Ipin ya, Mba. Ipin mau istirahat. Ipin janji mau nurut apa yang dibilangin Mba.”
Kudengar lantunan istighfar dari bibirnya. Lalu kulafazkan ayat-ayat Qu'ran sambil kuusap-usap keningnya. Alhamdulillah ia tertidur pulas. Karena aku sangat mengantuk akhirnya aku nyalakan MP3 ponsel untuk murottalnya dan kuletakkan di atas bantal dekat kepalanya.
Baru sejenak ku memejamkan mata tiba-tiba Ipin terbangun. Namun  ternyata itu hanya igauannya saja. Bicaranya agak aneh, agak susah kupahami. Dia hanya bilang kok susah tidur dan serba salah posisi berbaringnya
“Terus zikir dan istighfar ya, Ipin!” kataku.
“Iya, Ipin mau istirahat. Ipin mau nurut apa yang Mba Titin suruh. Ipin tidur ya, Mba. Astaghfirulloh, astaghfirulloh, astaghfirullohal 'adhiim!” Sayup-sayup suara zikirnya menghilang karena dia sudah tidur.
Ya Rabb, aku tak pernah kehilangan harapan padamu. Sembuhkanlah Ipin! Kumohon!
***
Di sepertiga malam mendekati subuh, aku bangunkan Emak dan kakak iparku untuk bergantian menjaga Ipin. Aku ingin ke mushola karena sejak maghrib aku menjaga adikku dan belum sholat isya.
”Jangan lama-lama ya, Tin!” kata kakak iparku.
”Iya kak!” jawabku.
Setelah selesai sholat Isya, tiba-tiba hpku berbunyi. Ada panggilan masuk dari kakak iparku. Bergegas langsung kuangkat.
”Assalamu’alaikum, Kak?” seruku.
“Tin cepetan ke sini! Ipin sudah meninggal,” kata Kakak parau.
“Aaa.. aaapaa... innnalillahi, ya Allah,” lirihku. Serta merta kulepas dan kulempar mukena yang kukenakan saat itu. Tak mampu kubendung air mataku. Aku berlari menuju ruangan kamar adikku dirawat. namun ada kejanggalan saat aku tiba di sana. Tidak kutemukan para perawat sibuk. Biasanya jika ada yang meninggal pasti mereka ramai untuk mengurus jenazahnya. Aku perlahan masuk dengan wajah kebingungan, sampai-sampai dokter laki-laki itu mengira aku adalah Coas yang sedang piket.
Sambil terus menyusuri arah ruangan, kuintip kamar tetap sepi. Kudapati adikku sedang tertidur pulas sekali. Ada emak dan kakak iparku di sana sedang membetulkan tempat tidur adikku, aku masih dibuat bingung.
“Kak, ada apa kok tadi telpon?” tanyaku saking bingungnya dengan suara yang di telpon tadi,
“Ooo itu kakak tadi bilang jangan lama-lama Arifin BAB lagi,” jelasnya.
Masih bingung namun ku simpan kebingunganku saat itu.
Ya Allah, apakah ini firasat?
***
Akhirnya kudampingi adikku yang tertidur dan sedikit demam. Lalu ku kompres dengan air dan handuk di kepalanya. Namun anehnya kenapa sedari tadi matanya seperti melihat tapi jauuuh sekali? Karena kupikir dia silau dengan lampu maka wajahnya sedikit kututup dengan handuk.
Azan subuh berkumandang. Aku dan Emak bergantian sholat di samping tempat dia berbaring. setelah itu aku tilawah Al Qur’an, kucoba goyang-goyangkan tubuh Ipin untuk membangunkannya, tapi anehnya ia tak mau menyahut. Jantungku seketika berdegub kencang.
“Panggil dokter, Kak! Panggil dokter!” teriakku panik.
Seraya aku menuntun mengucapkan kalimat tahlil di telinganya, kuusap-usap keningnya yang entah mengapa tak sadarkan diri juga. Emak terus mengikutiku mengucapkan tahlil. Namun kulihat bibirnya bergerak-gerak lalu tubuhnya seakan-akan jatuh terkulai lemah di atas tempat tidurnya. Tidak ada lagi denyut nadi. Hanya suara nafas yang berat yang kudengar, “Astaghfirulloh... hal ‘adhiim!”
Gerakan bibirnya yang tadi adalah gerakan terakhir yang kulihat. Adikku telah pergi menghadap Sang Khalik. Dia telah meninggalkan kami. Dia mendahului kami dalam usia yang begitu belia. Emak memanggil-manggil namanya diiringi isak tangis yang memilukan.
“Pin, jangan tinggalkan Emak! Ipin banguuun! Ini Emaaak, Piiin!” tangis Emak lirih.
Aku hanya mampu memandangi wajahnya dengan tangisan tanpa suara. Kuusap wajahnya dengan lantunan doa. Berulang-ulang kumohon agar Allah mengampuni dosa-dosamu, Ipin. Semoga Allah menempatkanmu di tempat terbaik disisNya. Selamat jalan adikku... semoga cahaya hidayah menjadi penerang jalanmu di sana, semoga amalmu menjadi temanmu di mana kau takkan bisa bersama-sama kami lagi.
Kulihat Emak sangat terpukul saat itu. Lantas kupeluk Emak, menguatkannya.
“Innalillahi wainna illaihi roji’un! Emak yang sabar. Allah lebih menyayangi Ipin. Ini yang terbaik buat dia, Emak. Kita harus ikhlas semuanya dengan keputusan Allah. Ipin juga sudah ikhlas dengan semua ini, Emak!” kataku menguatkannya.
Ipin, moga Allah memberikan tempat yang mulia disisiNya bersama orang-orang yang sholeh dan para syuhada yang syahid.

Dek... Mba akan teruskan pernjuanganmu. Biarkan Mba menjadi  penerus cita-citamu yang tertunda.
Menjadi manusia yang lebih baik lagi, selagi roh masih dalam jasad.
Terkirim do’a dan Fatihah selalu  untukmu di sana.
Kami menyayangimu, Dek!


Rabu, 16 Januari 2013
Kau Meninggalkan kami semua



Tidak ada komentar: