Sayang Adik |
”Berarti Mba nanti yang bisa bacakan
Ipin!”
Masih jelas kuingat mata itu menatap
penuh harap. Suara yang semakin lemah dan tak lagi jelas kudengar.
Cerita–cerita masa lampau terucap dari bibirmu. Semakin parau suaramu, semakin
aku tak mengerti apa yang kau sampaikan. Maafkan Mba mu ya, Dek! Harusnya aku
menyadari kalau malam itu adalah hari terakhirmu berbincang dan bercerita
bersamamu.
Semakin lekat kutatap wajah dalam
bingkai bisu itu. Tak ada yang berubah sedikitpun dari senyummu. Tetap seperti
senyum yang dahulu. Lembut dengan tatapan mata dan alis elangmu yang tajam.
Karena itu pula semakin mengalir deras air mata ini.
Aku perempuan kecil yang merasa dirinya
dewasa, selalu berlagak bijak dan dewasa kala berbicara dengan saudara-saudaraku. Sok berjiwa kuat dengan
segala terpaan hidup, namun sebenarnya akulah si perempuan kecil yang cengeng
lagi lemah.
4
Desember 2012
Ipin kangen sama Mba, hari ini jadi
pulang, kan?
Itu sms dari adik yang sudah rindu menunggu kepulanganku.
Iya Dek! Mba akan pulang buat kamu dan
Emak. Sabar ya! Mba masih di jalan nih. Balasku.
Tak pernah kuduga rumah sakit harus jadi
tempat kami bertemu pagi ini. Aku bingung. Begitu banyak pertanyaan yang ingin
kulontarkan. Aku langsung memeluk Ipin saat bertemu Ipin di pintu parkir RS.
“Mba sudah dari tadi sampainya?” tanya
adikku polos.
“Alhamdulillah! Ipin sakit apa?” tanyaku
sambil menatapnya haru. Aku tak bisa menyembunyikan rasa rindu pada adikku ini.
Kami bertemu di RS Daerah ini bukan tanpa alasan, Kakak sedang mengurus surat
rujukan untuk Ipin. Ya, Ipin harus dirujuk ke RS Provinsi.Ya Allah, jangan
biarkan kondisi Ipin memburuk.
Ya Allah, terima kasih aku masih bisa
dipertemukan dengan Ipin. Sembuhkanlah sakitnya, ya Rabb!
***
“Tin! Ipin sakit. Emak bingung dia sakit
apa. Sudah tiga dokter kita datangi tapi Ipin belum sembuh juga,” keluh Emak
sambil memelukku erat. Lelehan air mata membasahi wajah keriput Emak. Sungguh,
bisa kurasakan sedih dan pilu yang Emak alami. Padahal dulu Emak adalah wanita
yang jarang sekali menangis. Ah, aku baru sadar, ternyata tiga tahun sudah aku
meninggalkan kampung halamanku ini.
“Emak yang sabar ya! Sekarang Titin
sudah pulang. Titin pulang untuk Emak, untuk menguatkan Emak dan semuanya.
Insya Alloh kita semua bisa menghadapi ujian ini, Mak!”
Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk
menolong Emak dan saudara-saudaraku di sini.
***
7 Desember 2012
Suara deras jutaan butiran air dari
langit yang jatuh ke tanah menemani keberangkatan kami menuju RS Provinsi.
Kebun-kebun karet, jalanan yang licin oleh hujan, dan malam pekat nan gelap tak
menghalangi kami menempuh 5-6 jam perjalanan untuk mengantarkan Ipin ke RS.
Sebelum berangkat, Ipin menumpahkan
segala kangennya padaku.
“Ipin kangen banget sama Mba Titin. Mba
Titin mau ya jagain Ipin nanti di rumah sakit?” harapnya.
Aku mengangguk takzim dan mengusap
wajahnya. Untunglah, karena kepulanganku, Ipin yang awalnya tidak mau berobat
ke RS kini sudah mau dibujuk.
Tri, teman SD ku yang seorang bidan dan ikut membantu merawat adikku,
bercerita.
“Tin, Ipin sekarang beda sekali. Waktu
kamu di Jakarta, dia seperti kehilangan semangat hidup dan harapan untuk
sembuh. Kondisinya juga sangat mengkhawatirkan, sudah dibujuk untuk berobat
jawabannya selalu menolak. Tapi subhaanallah, begitu ketemu kamu, dia terlihat
lebih bersemangat dan optimis,” cerita Tri panjang lebar. Tri tak kuasa menahan
air mata sambil bercerita. Dia ingat betul saat-saat kritis Ipin beberapa hari
sebelum kedatanganku. Dan kini keadaan Ipin sudah jauh lebih baik. Ah, aku tak
sadar sejak Tri mulai bercerita, air mataku juga deras mengalir.
Ya Allah, kuatkanlah aku demi keluargaku
yang kucintai ini!
***
Sejenak kami beristirahat di perjalanan
dan sholat tahajud di sepertiga malam itu. Dan di situlah Ipin akhirnya menumpahkan
semua perasaannya pada Emak.
”Mak, maafin Ipin yak! Selama ini
kata-kata Ipin sering nyakitin perasaan Emak. Sering ngomong kasar, suka
membentak emak. Doain Ipin ya, mak! Ipin ingin sembuh! Ipin sudah nggak kuat.
Ipin mau pasrah aja. Maafin Ipin ya, Mak!” seru Ipin tulus sambil bersujud
mencium kaki Mak.
”Iya Emak udah maafin Ipin. Sekarang
Ipin harus semangat dan kuat ya, supaya cepat sembuh!”
Aku yang duduk di sebelah Ipin mencoba
mengusap pundaknya lembut. Memberinya semangat.
“Yakin Allah akan memberikan kesembuhan
ya, Dek!” sambil kurangkul tangannya untuk membantunya bangkit berdiri. Jujur
aku iri akan tindakannya yang begitu mulia. Entah jika aku di posisinya, apakah
bisa melakukannya atau tidak.
Tolong jadikanlah keinsyafan Ipin
sebagai jalan buat kesembuhannya, ya Rabb!.
***
Jum’at Malam Januari 2013
“Aaarrrggghhhh!”
Ipin mengerang kesakitan. Tubuhnya
semakin tegang. Matanya melotot. Giginya bergemerutuk menahan sakit. Tangannya
mengepal. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan Ipin. Aku
dan kakakku menuntunnya untuk terus berzikir. Tapi Ipin terus saja mengerang
kesakitan.
Untunglah perawat segera datang ke
ruangan. Dia lalu segera memasangkan tabung oxigen ke hidung Ipin dan
menyuntikkan obat ke dalam selang infusnya. Perlahan kesadaran adikku mulai
memulih, tubuhnya sudah tidak mengejang lagi.
Segala puji hanya untukmu ya Allah.
Berikanlah kesembuhan kepada Ipin, ya Rabb!
***
Limphoma Malighna Non Hodgkin
Tubuhku lemas seketika membaca hasil
diagnosa penyakit yang diidap Ipin. Kanker kelenjar getah bening. Aku hanya
bisa husnudzon dan berharap Allah masih memberi jalan untuk kesembuhan adikku
ini.
“Yang sabar ya, Mba! Mba harus lebih
kuat! Kasih dukungan adiknya. Hidup dan mati sudah takdir Allah. Saya pamit
duluan ya, Mba!” hibur seorang ibu sambil menepuk pundakku.
Ah, aku hanya bisa mencoba tersenyum dan
menahan tangis. Allah Maha Tahu, seberat apapun beban yang kurasakan, jauh
lebih berat ujian yang harus dihadapi adikku dalam menahan rasa sakitnya.
Tidak, aku tidak boleh lemah begini.
Ya Allah, Kau memberikan beban sesuai
dengan kesanggupan hambaMu. Aku tahu aku sanggup menghadapi semua ini.
Kuatkanlah aku, ya Rabb!
***
Malam itu sedikit ada kesalahpahaman
antara aku dan adikku. Aku agak teledor ketika menadah muntahan Ipin ketika dia
mual. Ipin begitu tega menganggap aku tidak ikhlas merawatnya. Dia tidak ingin
dirawat olehku. Dia ingin agar Emak saja yang berada di kamar. Padahal selama
ini dia selalu bersamaku sejak pagi. Sarapan dan minum obat semua aku yang
menyuapinya. Aku kecewa dengan sikapnya yang mulai tidak sabaran. Aku keluar
ruangan dan Emak menggantikanku menungguinya.
Malam itu tak sedikitpun aku menengok ke
ruangannya. Aku takut dia masih marah padaku. Namun esok sorenya aku
memberanikan diri untuk masuk dan menungguinya, menanyakan apa saja kabar
tentangnya, seolah tak pernah ada kekecewaan yang pernah terjadi.
Setelah sholat maghrib Emak tepat berada
di sebelah kanannya sedang mengipasinya. Aku duduk menggelar karpet tepat
dibawah kaki kanannya, sambil tilawah Al Qur’an. Ipin meminta Emak memanggilku
untuk mendekatinya.
“Mba Titin sini, sebentar aja!”
panggilnya sambil mengulurkan tangan ke arahku. Segera aku beranjak
menghampirinya, tangannya segera menggamit tanganku menyalami. “Ipin minta maaf
ya, Mba. Ipin sadar suka marah-marah dan bikin sakit hati Mba. Ipin harusnya
bersyukur... semua orang ikhlas merawat Ipin. Ipin kasihan sama pasien di
sebelah itu, Mba. Sudah terbaring lemah tapi keluarganya tidak ada yang
mengurusi.”
“Mba mau maafin Ipin, kan? Ipin janji
tidak akan marah-marah lagi, tidak akan bentak-bentak lagi, Ipin mau nurut apa
kata Mba, tidak akan melawan lagi. Ipin janji, mba! Mulai sekarang Ipin mau
berubah jadi lebih baik dan ikhlash. Ipin ikhlas atas keputusan Allah, Mba mau
bantu ingetin Ipin, kan?!”
“Iya, Mba udah maafin Ipin.
Alhamdulillah Allah sudah kasih hidayah buat Ipin. Insya Allah Mba akan bantu
ingetin Ipin terus. Sekarang Ipin harus yakin Allah bakal ngasih kesembuhan
yak?” kataku sambil kuusap bahunya yang semakin kurus. Aku sungguh terharu. Aku
bingung harus berkata apa lagi.
Kakakku datang lalu dipeluknya adikku
dengan penuh kasih sayang, kali ini aku seakan merasakan betapa kakakku begitu
menyayanginya seakan-akan tak ingin kehilangan adik laki satu-satunya, yang
selama ini telah menjadi teman sharing dan berbagi tanggungjawab di dalam
keluarga kami. Aku ingin keluarga ini tetap utuh dan dalam lindunganmu selalu,
ya Allah.
Berikanlah selalu hidayah pada
keluargaku ini, ya Rabb!
***
Perubahan drastis adikku membuat
semangat baru kami timbul kembali. Aku selalu meyakinkan dia untuk sembuh, dan
dia pun yakin akan kesembuhannya. Merawatnya, menyuapi makannya, meminumkan
obatnya sudah menjadi rutinitasku setiap hari, bercerita dan memotivasinya
sudah harus kusiapkan setiap waktu bila dia bertanya.
”Insya Allah Musanah Arifin besok bisa
kemoterafi sementara ya. Alhamdulillah kondisinya sudah lebih baik,” kata
dokter pada kami. Berita itu sungguh kabar gembira yang sangat berharga bagi
kami.
Siang itu adikku masih sempat bercerita
tentang cita-citanya yang ingin membuka usaha
dan berjanji akan menjadi orang yang benar-benar baik. Namun sayangnya
sore ini dia terlihat agak lemah karena diare. Dia kembali mengeluhkan sakit
perutnya.
“Waktu Ipin sakit perut, Mba ke mana?
Ipin sampai teriak-teriak lho waktu bilang astaghfirullah, karena
rasanya sakiiiiit banget, Mba. Kayak
udah nggak bisa nafas jadi zikirnya keras aja supaya Ipin tetap sadar. Kalau
mati itu rasanya sakit kayak gitu ya, Mba?” tanya dia.
“Iya. Rasul saja masih merasakan sakitnya
kematian, apalagi kita yang hanya manusia biasa? Namun semua tergantung amal
kita, Dek. Pilihannya apakah kita su’ul khotimah atau khusnul khatimah. Kenapa
ipin tanya begitu? Sekarang kita perbanyak zikir dan istighfar sama Allah.
Kalau kita ikhlas dalam ujian ini maka Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita.
Insya Allah Ipin akan sembuh,” nasihatku padanya.
“Iya, Mba. Ipin akan nurut apa kata mba.
Ipin juga sudah ikhlaaaaaasss banget. Kalo Allah kasih sembuh alhamdulillah,
tapi kalo Ipin harus cepat menghadapNya, semoga Allah telah mengampuni
dosa-dosa Ipin ya, Mba. Ipin merasa lebih tenang sekarang.”
Entah kenapa seperti ada angin yang
lembut membelai leherku. Hatiku berdesir. Entah karena apa. Aku mencoba
menghilangkan pikiran-pikiran buruk. Aku harus mendukung Ipin.
“Ipin harus yakin bahwa semua penyakit
Allah turunkan juga obatnya. Perbanyak istighfar ya, Dek! Percayalah Allah
menggugurkan satu persatu dosa Ipin, yang penting ikhlas dan sabar ya!”
Nasihatku siang itu. Ah, entah apakah aku bisa sekuat Ipin jika berada di
posisinya.
Ya Rabb, aku tak kan membiarkan pikiran
buruk membuyarkan harapanku padaMu. Tolong! Tolong ya Allah! Sembuhkanlah Ipin!
****
Sejak perbicaraan siang ini, kulihat
semangatnya untuk sembuh luar biasa. Malam ini dia harus istirahat dengan cukup
karena besok akan ada kemoterafi. Sebisa mungkin tensi dan Hb darahnya normal.
Sebelum beristirahat dia banyak sekali bercerita.
“Mba Titin sini... deket Ipin. Mba punya
musuh ga?”
“Ga ada, emangnya kenapa kok tanyanya
begitu?”
“Berarti hanya Mba Titin yang bisa
membacakan Ipin ya, Mba.”
”Membacakan apa, Pin? Ya sudah nanti Mba
bacakan yang penting hari ini Ipin istirahat yang cukup, ingat besok sudah mau
di kemo ya.”
“Iya... bacain Ipin ya, Mba. Ipin mau
istirahat. Ipin janji mau nurut apa yang dibilangin Mba.”
Kudengar lantunan istighfar dari
bibirnya. Lalu kulafazkan ayat-ayat Qu'ran sambil kuusap-usap keningnya.
Alhamdulillah ia tertidur pulas. Karena aku sangat mengantuk akhirnya aku
nyalakan MP3 ponsel untuk murottalnya dan kuletakkan di atas bantal dekat
kepalanya.
Baru sejenak ku memejamkan mata
tiba-tiba Ipin terbangun. Namun ternyata
itu hanya igauannya saja. Bicaranya agak aneh, agak susah kupahami. Dia hanya
bilang kok susah tidur dan serba salah posisi berbaringnya
“Terus zikir dan istighfar ya, Ipin!”
kataku.
“Iya, Ipin mau istirahat. Ipin mau nurut
apa yang Mba Titin suruh. Ipin tidur ya, Mba. Astaghfirulloh, astaghfirulloh,
astaghfirullohal 'adhiim!” Sayup-sayup suara zikirnya menghilang karena dia
sudah tidur.
Ya Rabb, aku tak pernah kehilangan
harapan padamu. Sembuhkanlah Ipin! Kumohon!
***
Di sepertiga malam mendekati subuh, aku
bangunkan Emak dan kakak iparku untuk bergantian menjaga Ipin. Aku ingin ke
mushola karena sejak maghrib aku menjaga adikku dan belum sholat isya.
”Jangan lama-lama ya, Tin!” kata kakak
iparku.
”Iya kak!” jawabku.
Setelah selesai sholat Isya, tiba-tiba
hpku berbunyi. Ada panggilan masuk dari kakak iparku. Bergegas langsung
kuangkat.
”Assalamu’alaikum, Kak?” seruku.
“Tin cepetan ke sini! Ipin sudah meninggal,”
kata Kakak parau.
“Aaa.. aaapaa... innnalillahi, ya
Allah,” lirihku. Serta merta kulepas dan kulempar mukena yang kukenakan saat
itu. Tak mampu kubendung air mataku. Aku berlari menuju ruangan kamar adikku
dirawat. namun ada kejanggalan saat aku tiba di sana. Tidak kutemukan para
perawat sibuk. Biasanya jika ada yang meninggal pasti mereka ramai untuk
mengurus jenazahnya. Aku perlahan masuk dengan wajah kebingungan, sampai-sampai
dokter laki-laki itu mengira aku adalah Coas yang sedang piket.
Sambil terus menyusuri arah ruangan,
kuintip kamar tetap sepi. Kudapati adikku sedang tertidur pulas sekali. Ada
emak dan kakak iparku di sana sedang membetulkan tempat tidur adikku, aku masih
dibuat bingung.
“Kak, ada apa kok tadi telpon?” tanyaku
saking bingungnya dengan suara yang di telpon tadi,
“Ooo itu kakak tadi bilang jangan
lama-lama Arifin BAB lagi,” jelasnya.
Masih bingung namun ku simpan
kebingunganku saat itu.
Ya Allah, apakah ini firasat?
***
Akhirnya kudampingi adikku yang tertidur
dan sedikit demam. Lalu ku kompres dengan air dan handuk di kepalanya. Namun
anehnya kenapa sedari tadi matanya seperti melihat tapi jauuuh sekali? Karena
kupikir dia silau dengan lampu maka wajahnya sedikit kututup dengan handuk.
Azan subuh berkumandang. Aku dan Emak
bergantian sholat di samping tempat dia berbaring. setelah itu aku tilawah Al
Qur’an, kucoba goyang-goyangkan tubuh Ipin untuk membangunkannya, tapi anehnya
ia tak mau menyahut. Jantungku seketika berdegub kencang.
“Panggil dokter, Kak! Panggil dokter!”
teriakku panik.
Seraya aku menuntun mengucapkan kalimat
tahlil di telinganya, kuusap-usap keningnya yang entah mengapa tak sadarkan
diri juga. Emak terus mengikutiku mengucapkan tahlil. Namun kulihat bibirnya
bergerak-gerak lalu tubuhnya seakan-akan jatuh terkulai lemah di atas tempat
tidurnya. Tidak ada lagi denyut nadi. Hanya suara nafas yang berat yang
kudengar, “Astaghfirulloh... hal ‘adhiim!”
Gerakan bibirnya yang tadi adalah
gerakan terakhir yang kulihat. Adikku telah pergi menghadap Sang Khalik. Dia
telah meninggalkan kami. Dia mendahului kami dalam usia yang begitu belia. Emak
memanggil-manggil namanya diiringi isak tangis yang memilukan.
“Pin, jangan tinggalkan Emak! Ipin
banguuun! Ini Emaaak, Piiin!” tangis Emak lirih.
Aku hanya mampu memandangi wajahnya
dengan tangisan tanpa suara. Kuusap wajahnya dengan lantunan doa.
Berulang-ulang kumohon agar Allah mengampuni dosa-dosamu, Ipin. Semoga Allah
menempatkanmu di tempat terbaik disisNya. Selamat jalan adikku... semoga cahaya
hidayah menjadi penerang jalanmu di sana, semoga amalmu menjadi temanmu di mana
kau takkan bisa bersama-sama kami lagi.
Kulihat Emak sangat terpukul saat itu.
Lantas kupeluk Emak, menguatkannya.
“Innalillahi wainna illaihi roji’un!
Emak yang sabar. Allah lebih menyayangi Ipin. Ini yang terbaik buat dia, Emak.
Kita harus ikhlas semuanya dengan keputusan Allah. Ipin juga sudah ikhlas
dengan semua ini, Emak!” kataku menguatkannya.
Ipin, moga Allah memberikan tempat yang
mulia disisiNya bersama orang-orang yang sholeh dan para syuhada yang syahid.
Dek... Mba akan teruskan pernjuanganmu.
Biarkan Mba menjadi penerus cita-citamu
yang tertunda.
Menjadi manusia yang lebih baik lagi,
selagi roh masih dalam jasad.
Terkirim do’a dan Fatihah selalu untukmu di sana.
Kami menyayangimu, Dek!
Rabu, 16 Januari 2013
Kau Meninggalkan kami semua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar